Thursday, February 4, 2010

menangislah (Rumi)

Menangislah!

Karena tangisan awan, taman pun tersenyum
Karena tangisan bayi, air susu pun mengalir

Pada suatu hari ketika bayi tahu cara, ia berkata
“Aku akan menangis agar perawat penyayang tiba”

Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat Agung
Tidak akan berikan susu jika kamu tidak meraung

Tuhan berfirman, “Menangislah sebanyak-banyaknya”
Dengarkan, anugrah Tuhan kan curahkan air susunya

Tangisan awan dan panas mentari
Adalah tiang dunia, rajutlah keduanya

Jika tak ada panas mentari dan tangisan awan
Mana mungkin bakal kembang semua badan

Mana mungkin musim silih berganti
Jika kemilau dan tangis ini berhenti

Mentari yang membakar dan awan yang menangis
Itulah yang membuat dunia segar dan manis

Biarkan matahari kecerdasanmu terus-menerus terbakar
Biarkan matamu, seperti awan, kemilau karena airmata yang keluar

Menangislah seperti rengekan anak kecil, jangan makan rotimu
karena roti jasmanimu akan mengeringkan air ruhanimu

Ketika tubuhmu rimbun dengan dedaunan yang subur
Siang malam batang rohmu melepaskannya seperti musim gugur

Kerimbunan tubuhmu adalah kerontangan rohmu
Segeralah, jatuhkan tubuhmu, tumbuhkan rohmu!

Pinjami Tuhan, pinjamkan kerimbunan tubuhmu
Tukarkan dengan taman yang merkah dalam jiwamu

Berikan pinjaman, kurangi makanan badanmu
Biar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu

Ketika badan mengeluarkan semua kotoran keji
Tuhan mengisinya dengan mutiara dan kesturi

Orang itu telah menukar kotoran dengan kesucian
Dari “Dia sucikan kamu” ia peroleh kenikmatan

-Matsnawi, Buku Kelima 65-149-

Satu puisi lagi dari Rumi
Saya sedih kalo baca yang ini.
Mungkin karena akhir-akhir ini hidup menjadi sangat berat.
Seperti yang dikatakan Socrates (disalah satu tulisan seorang teman) :

“Hidup yang tak teruji adalah hidup yang tak layak" dan tanda bahwa manusia masih hidup adalah ketika dia mengalami kegagalan dan penderitaan, lebih baik kita tau mengapa kita gagal daripada tau mengapa kita berhasil”

Mungkin akhir-akhir ini saya sedang merasakan ‘benar-benar’ hidup
Merasakan nikmat akan sakitnya.
Seperti tagline MP saya ‘live while i’m alive’ seakan-akan diuji mau seberapa hidupkah kamu prytha? (hehe, bonyok.com)
Kembali ke puisi diatas.
Saya secara gak sengaja menemukan puisi ini, teronggok disebuah forum diskusi milik fbnya Jalaludin Rakhmat.

Ini beberapa bait yang saya suka :
Tuhan berfirman, “Menangislah sebanyak-banyaknya”
Dengarkan, anugrah Tuhan kan curahkan air susunya

Sepertinya bait ini senada dengan salah satu quotes yang pernah saya baca :
tahukah kamu, ketika kamu sedang menangis sesungguhnya Tuhan sedang menghitung bulir-bulir air matamu?’

Terharu tiap kali membaca quotes tadi.
Saya mulai berhenti menangis akhir-akhir ini, mungkin karena terlalu lelah.
Kadang sangat sulit rasanya bahkan hanya untuk jadi diri sendiri
Tapi ketika membaca bait diatas, saya hanya ingin menangis lagi (mungkin, untuk yang kesekian kalinya) karena saya menunggu ‘air susunya’

Ketika tubuhmu rimbun dengan dedaunan yang subur
Siang malam batang rohmu melepaskannya seperti musim gugur
Kerimbunan tubuhmu adalah kerontangan rohmu
Segeralah, jatuhkan tubuhmu, tumbuhkan rohmu!


Semuanya itu akan berbalik, berpaling kepadaNya.
Seberapa banyak keinginan yang kamu punya, seberapa banyak hasrat yang ada, seberapa berapa ‘apa-apa’ yang ada dalam diri kita, banyak, tak terhitung. Karena kita manusia, kita selalu mau, selalu minta, selalu kurang, selalu, seringkali seperti itu. Itulah kita.
Segala sesuatu yang berlebih akan menyesakkan, menyumbat, mengganjal dan pada akhirnya akan terdesak keluar. Pecah ke permukaan. Maka keluarkanlah. Kosongkanlah. Karena sesungguhnya kosong itu adalah isi yang sesungguhnya.
Temui Dia, jatuhkan tubuhmu dikakinya, rendahkan dirimu karena senantiasa kita selalu meninggi tapi disaat yang bersamaan mengerdilkan roh kita. Kita senantiasa lupa, lupa bagaimana ‘merendahkan’ diri.

Berikan pinjaman, kurangi makanan badanmu
Biar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu


Tubuh kita senantiasa berisi, bernutrisi, tapi seberapa banyak makanan yang kita beri ke jiwa kita, rohani, roh kita sehingga tidak jarang mereka kelaparan.
Kelaparan yang justru dapat membutakan semua ‘mata’ dalam diri kita.
Senada dengan syair lagunya Bimbo ‘bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar’.
Jangan percaya semua yang terlihat dan dilihat oleh matamu, tapi pilihlah apa yang ingin kau lihat karena penglihatan itu akan bermakna berbeda tergantung dari cara kita melihatnya.
Maka tetapkanlah pilihan untuk penglihatanmu, agar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu.

Sampai sekarang masih menunggu, menunggu waktu. Klise, tapi saatnya memberi kesempatan untuk memberikan waktu untuk dirinya sendiri. cuih, ngeq, plaaak.. ! DUARRR.. !

No comments:

Post a Comment