Monday, February 22, 2010

smaradhana

Berikut ini merupakan cuplikan percakapan dua anak manusia. Menjelang tengah malam
Yang satu disini, yang satu disana. Terpisah jarak berkilometer jauhnya
Disatukan melalui teknologi, Messenger namanya


Dia      : sudah, cari yang lain saja.. masih banyak yang lain kok.
Dirinya : gak mau, orang nyambungnya sama yang ini..

Dia      : woh, ingat dia sudah ada yang punya.. dosa, dosa..
Dirinya : loh, emangnya aku ngapain ? gak ngapa-ngapain kok

Dia      : main api ini namanya
Dirinya : hehe

Dia      : awas terbakar nanti, gosong..
Dirinya : makanya apinya dikecilin, biar gak gosong..

Dia      : iya, itu sebelum tak siram pake bensin apinya nanti.. haha..
Dirinya : kamu gak akan berbuat itu kok, aku tau.. kamu kan baik..

Dia      : yo weis, dikasih tau gak mau ngerti
Dirinya : aku gak macem-macem kok.. (serius)

Dia dan Dirinya : -sign out-


Gusti mirah ingsun yayi
paranbaya susahira
yen ingsun ngemasi layon
dhuh mirahku tingalana
dasihmu ketiwasan
kalebu ing akalipun
para dewa padha cidra

Enggonmu ngandhet mring mami
wusanane sida teka
saujarmu nora linyok
ing mengko ingsun kataman
dedukaning bathara
geseng temah dadi awu
keparak dening dahana

bab tulungana yayi
ngendi nggone ulatana
uripku
gawanen mrene
adhuh kadi dudu dewa
kena ing ngeni wisa
mirah siramen dasihmu
geseng tyasku dadi mawa

ana kene aku Gusti
ing gunung anandhang papa
nusula ywa suwe-suwe
mangkana sambatira Sang
Kamajaya mring garwa
Amelas asih katunu
Madyaning mahadahana

Aduh Gusti, Adinda yang kusayangi, apakah gerangan, susah hatinya, bila saya sampai meninggal.
Aduh, adinda lihatlah cintamu kena celaka, masuk kena tipu daya.
Pada dewata sama curang, perbuatanmu mencegah kepada saya akhirnya terjadi.
Semua kata-katamu terjadi sungguh, sekarang saya terkena kemarahan Betara.
Hangus akhirnya menjadi abu, terbakar oleh api. Babo, tolonglah adinda, dimana saja tempatnya amat-amatilah.
Hidupku terbawa sampai ke sini, aduh bukan seperti dewata.
Tertimpa oleh api yang berbisa.
Adinda mandikan cintamu, yang hangus hatinya menjadi bara.
Gusti, saya ada disini, di gunung, menderita celaka.
Susul jangan lama-lama, demikian keluhnya kepada isteri.
Sangat menyedihkan, terbakar di tengah api yang besar sekali

*(dari novel Astral Astria-Fira Basuki hal.325-327, kutipan diambil dari Serat Smaradhana oleh Empu Dharmaja)
 
Entah kenapa, tiba-tiba jadi inget kutipan syair diatas Serat Smaradhana
Jadi ingin menulisnya, jadi teringat pula akan seseorang yang sedang terbakar api
Tapi tidak sampai gosong, atau setidaknya (dia) tidak akan menggosongkan dirinya.
Apalagi kalau api ini akibat perbuatannya sendiri.
Dari syair diatas saya suka bagian ini :
Tertimpa oleh api yang berbisa. (Sangat menyedihkan, terbakar di tengah api yang besar sekali)
Dari terjemahan diatas saya suka bagian ini..
api sendiri sudah panas bukan kepalang, ditambah ‘berbisa’ apalah jadinya kalo terkena.
Apa rasanya terkena “api yang berbisa?’
Entahlah mana ku tahu?
Tapi mungkin Dirinya (dari percakapan diatas tahu)
 (Sangat menyedihkan, terbakar di tengah api yang besar sekali)
(Dia) menasehati ‘awas, jangan main api terbakar nanti’
Agar kamu tidak jadi menyedihkan terbakar hidup-hidup didalamnya.

Jadi ingat juga quotes seorang penyair hasil googling :

I hold it true, whate'er befall, I feel it, when I sorrow most,
'Tis better to have loved and lost, Than never to have loved at all
(Alfred Tennyson, Poet Laureate of the United Kingdom)

Maka, terbakarlah kau wahai (Dirinya)
Karena katanya 'Tis better to have loved and lost, Than never to have loved at all





No comments:

Post a Comment